Jumat, 12 Februari 2010

PARIS--Arsitek utama larangan burka di Prancis terpaksa harus menyangkal klaim bahwa ia akan memeluk Islam karena menikahi pacarnya yang seorang wanita Muslim.

Eric Besson, Menteri Imigrasi Prancis yang berusia 51 tahun itu, telah mengakui hubungannya dengan Yasmine Tordjman, seorang mahasiswi seni Paris yang berusia kurang dari setengah usianya.

Namun konservatif garis keras itu mengancam akan mengambil tindakan hukum terhadap sebuah website yang menyebutkan bahwa pasangan yang telah memiliki rumah bersama itu kemungkinan akan menikah, yang menurut hukum Islam mengharuskan ia untuk pindah agama.

Pengungkapan itu datang saat Besson memimpin sebuah kampanya melawan agama dan kebudayaan non-Kristen yang menyerbu Perancis. Ia telah menyerukan agar penutup kepala seperti burqa dilarang dan menginginkan agar para calon pendatang mengambil tes berbahasa Prancis serta menyatakan sumpah setia kepada Republik. Kebijakannya itu diterapkan terutama pada pendatang yang berasal dari negara-negara Muslim, yang tidak berbagi nilai-nilai yang sama dengan Perancis.

Tordjman, yang usianya baru di awal 20-an, berasal dari keluarga terkenal Muslim Tunisia yang masih mempuyai ikatan keluarga dengan mantan presiden negara itu, Habib Bourguiba.

Sebelum Natal, Besson, seorang duda cerai dengan 3 anak, pergi ke negara di Afrika Utara itu untuk menemui ibu Tordjman, menimbulkan spekulasi bahwa ia akan menikah di bulan Juni.
Namun menteri kelahiran Maroko itu telah merilis pernyataan bahwa ia menyesal harus membantah isu perpindahan agama “yang saya hormati, saya sangat terikat pada karakter sekuler Republik ini.” Ia mengatakan sedang mempertimbangkan untuk menuntut website berita Bakchich Inf, yang menampilkan klaim tentang perpindahan agama tersebut.

Sebelumnya, Besson telah banyak diragukan reputasinya. Tahun lalu, mantan istrinya Sylvie Brunel, 49, mengklaim bahwa Besson telah bersikap tidak setia selama lima tahun sebelum pernikahan mereka dan 25 tahun selama rumah tangga mereka berdiri.”

Dalam sebuah buku, Brunel mengatakan bahwa Besson meninggalkannya untuk seorang wanita “yang seusia dengan putri sulung kami.”

NASHVILLE--Teror sebagian warga Amerika terhadap umat Islam masih berlanjut. Setidaknya hal ini dibuktikan dengan aksi vandalisme di salah satu masjid di Nashville, Texas, Amerika Serikat (AS). Kemarin, jendela masjid tersebut dipenuhi coretan yang antara lain bertuliskan 'Muslims Go Home'

Polisi setempat menyatakan bahwa aksi vandalisme di masjid Al Farooq itu merupakan bentuk kebencian. Salaad Nur, mengungkapkan bahwa pelaku vandalisme itu tak hanya mencorat-coret masjid. Kata dia, pelaku juga meninggalkan secarik pesan yang berisi eskpresi kebencian dan ancaman.

Polisi wilayah Nashville, Sersan Brooks Harris, menjanjikan bahwa pihaknya akan mengusut pelaku kejahatan tersebut. "Langkah penting yang harus kami tempuh adalah bekerja bersama dengan polisi federal dan negara bagian utnuk mengetahui akar masalahnya," ujar dia.

Lebih jauh dia juga mengungkapkan bahwa polisi ingin sekali mencegah kejadian serupa terulang. Untuk menjalankan upaya tersebut mengungkapkan bahwa polisi akan bekerja secara maksimal. Salah satu jamaah masjid menduga bahwa aksi tercela itu dilakukan pada Selasa malam atau Rabu dinihari waktu setempat. Menurut dia, pada selasa malam, kondisi masjid masih bersih.

Aksi ini pun disesalkan Dewan Hubungan Islam-Amerika, CAIR. Menurut pengurus organisasi ini, aksi vandalisme merupakan bentuk phobia sebagian warga Amerika terhadap Islam. "Sering sekali masjid jadi sasaran vandalisme, dan Muslim Amerika jadi sasaran penyerangan bermotif bias," ujar Direktur Eksekutif Nasional CAIR, Nihad Awad. Hal ini, tutur dia, menjadi tantangan tersendiri bagi tokoh negara dan pemimpin agama untuk bersama-sama menghapuskan Islamophobia secara luas.


EDINBURGH--Setelah empat tahun mendekam dibalik jeruji besi, seorang mahasiswa Muslim, 24 tahun, dilepaskan dari dakwaan merencanakan aksi bom bunuh diri. Pernyataan resmi dari pengadilan menyatakan bahwa hakim sidang telah menuntun juri pada intepretasi salah.

"Saya tidak pernah bermaksud melakukan segala bentuk aksi terorisme," ujar si mahasiswa, Mohammed Atif Siddique, seperti yang dilansir Daily Record, 10 Februari.

"Saya akui saya bodoh dan banyak bicara. Namun, saya tak pernah berencana untuk menyakiti, apalagi membunuh orang di mana pun," ungkapnya.

Atif, siswa di Alva Clackmannanshire, Skotlandia, ditahan pada April 2006 silam ketika di bandara menunggu penerbangan ke Pakistan bersama pamannya.

Pada 2007, ia divonis 8 tahun penjara dibawah pasal UU Terorisme 2000 yang kontroversial. Ia didakwa atas perbuatan 'merencanakan aksi bom bunuh diri' karena ia menyimpan pesan dari Al Qaidah dan memuji para martir di Irak dalam arsip-arsip di laptopnya.

"Saat itu, saya begitu tertarik dengan apa yang terjadi di Timur Tengah dan saya mengakses banyak informasi dari internet, "ujar Atif kepada harian Skotlandia itu.

"Semua yang saya miliki dan saya simpan di laptop bebas dan mudah didapat," imbuhnya.

Mahasiswa Mulim itu menolah tuduhan bahwa ia simpatisan Al Qaidah atau ingin menjadi pelaku pengebom bunuh diri. "Jika saya memang Al Qaidah, bagaimana mungkin saya tetap tinggal di rumah tujuh hari setelah polisi menahan saya? Saya bahkan pergi ke kantor polisi untuk meminta kembali laptop saya," tukasnya.

"Pengadilanlah yang menyataka bahwa saya 'menginginkan jadi pelaku bom bunuh diri'. Tentu itu membuat saya terkejut setengah mati. Saya tidak paham mengapa saya dituntut."

Pembatalan vonis Atif dilakukan di Pengadilan di Edinburgh pada 9 Januari alau. Hakim yang memimpin sidang menyatakan bahwa mahasiswa Muslim tersebut telah dirugikan akibat kesalahan dalam persidangan sebelumnya.

Begitu Atif keluar ruang sidang, ditemani bersama kuasa hukumnya, Aamer Anwar, ia langsung disambut banyak pendukung.

"Hukum kita seharunya membawa pelaku yang terbukti merencanakan aksi teror, bukan mengkriminalisasi pemuda Muslim gara-gara dianggap berpikiran kriminal dan memiliki baran-barang bersifat propaganda," ujarnya.

"Saya menjaga diri agar selalu bersih, namun mereka telah mengambil kebebasan saya, menghancurkan reputasi keluarga saya dan melabeli saya sebagai teoris, meski saya tak punya bom atau rencana untuk melukai siapa pun."

Keluarga Atif mengaku menderita akibat kasus tersebut. "Saat itu saya takut dan tak bisa tidur," ujar ibunda Atif, Parveen. "Saya tak percaya itu terjadi," imbuhnya.

Saudara lelaki Atif, Asif bahkan harus berhenti kuliah hukum setelah ia dan sang paman diinterogasi selama lima hari berturut-turut terkait kasus tersebut.

Meski menghabiskan empat tahun masa mudanya di penjara, Atif Siddique mengaku tak menyimpan dendam terhadap masyarakat. "Saya harap saya dapat mengambil jalan dalam hidup saya dan kembali normal, berperan dalam masyarakat serta berkontribusi positif di komunitas."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar